Jakarta Bersiap Jadi Kota Cinema: Mimpi yang Dirajut, Tantangan yang Dihadapi
Jakarta memiliki ambisi besar untuk bertransformasi menjadi sebuah kota cinema, sebuah pusat industri perfilman yang disegani, tak hanya di Indonesia, namun juga di kancah internasional. Mimpi ini bukan sekadar angan-angan, melainkan sebuah visi yang tengah diupayakan secara serius oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan mencontoh kota-kota maju yang telah sukses mengembangkan industri filmnya seperti Tokyo dan Busan, Jakarta berencana untuk mendirikan sebuah Film Commission yang akan menjadi lokomotif penggerak kemajuan perfilman di ibu kota.
Gagasan menjadikan Jakarta sebagai kota cinema pertama kali mencuat ke permukaan melalui Wakil Gubernur Rano Karno. Saat menghadiri acara nonton bareng film animasi "Jumbo" bersama anak-anak yatim piatu pada bulan April, Rano secara terbuka menyampaikan bahwa Jakarta sedang didesain untuk menjadi pusat perfilman. Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam acara Jakarta Future Festival yang mengangkat tema 'Mengembangkan Jakarta Kota Sinema' di Taman Ismail Marzuki.
Rano Karno menuturkan bahwa keberpihakan Jakarta terhadap industri perfilman sebenarnya telah dimulai sejak era Gubernur Fauzi Bowo (Foke) pada tahun 2007-2012. Pada masa itu, Foke menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 115 Tahun 2012 tentang Pembebasan Sebagian Pajak Hiburan untuk Produksi Film Nasional. Pergub ini menjadi angin segar bagi para pelaku industri film, memberikan keringanan biaya produksi yang signifikan.
Dalam Pergub tersebut, Pemprov DKI Jakarta memberikan pembebasan pajak hiburan sebesar 75 persen untuk produksi film nasional. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industri film lokal, meningkatkan kualitas produksi, serta menarik minat investor untuk menanamkan modal di sektor ini. Fauzi Bowo melihat potensi besar yang dimiliki industri film sebagai salah satu penggerak ekonomi kreatif yang dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan daerah.
Namun, kebijakan yang telah berjalan cukup baik ini mengalami perubahan pada era kepemimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi). Jokowi menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 148 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Nomor 115 Tahun 2012 tentang Pembebasan Sebagian Pajak Hiburan untuk Produksi Film Nasional. Dalam Pergub baru ini, besaran pembebasan pajak hiburan diturunkan menjadi 50 persen, dari yang sebelumnya 75 persen.
Penurunan besaran pembebasan pajak ini tentu menimbulkan pertanyaan di kalangan pelaku industri film. Rano Karno sendiri mengaku belum mengetahui secara pasti alasan di balik perubahan kebijakan tersebut. Ia mempertanyakan mengapa Jokowi menurunkan besaran pembebasan pajak, padahal sebagian dari pajak film tersebut diperuntukkan untuk membangun industri film.
Meskipun demikian, Rano menegaskan bahwa Pergub Nomor 1148 tersebut hingga saat ini belum dicabut. Artinya, potongan pajak yang dikembalikan kepada produser film Indonesia masih tetap berlaku. Ia juga menyinggung bahwa Jakarta menjadi satu-satunya wilayah yang masih memberikan pembebasan pajak hiburan di antara kota-kota dengan jumlah populasi penonton yang besar.
Rano menyadari bahwa Jakarta memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk industri film. Dari tujuh provinsi di Indonesia yang menjadi pusat distribusi film, Jakarta memiliki populasi penonton yang luar biasa. Hal ini menjadi modal penting bagi Jakarta untuk mengembangkan diri sebagai kota cinema.
Untuk mewujudkan visi Jakarta sebagai kota cinema, Pemprov DKI Jakarta tidak hanya fokus pada aspek regulasi dan insentif pajak. Rano Karno menyampaikan bahwa pihaknya juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Ekonomi Kreatif untuk menyelaraskan program pengembangan ekonomi film nasional. Hal ini dilakukan agar program-program yang dijalankan dapat saling mendukung dan memberikan dampak yang lebih signifikan bagi kemajuan industri film di Indonesia.
Salah satu langkah konkret yang akan diambil oleh Pemprov DKI Jakarta adalah dengan mendirikan Jakarta Film Commission. Lembaga ini akan menjadi pusat koordinasi dan fasilitasi bagi seluruh kegiatan perfilman di Jakarta. Rencananya, Jakarta Film Commission akan terealisasi pada tahun 2027.
Rano Karno menjelaskan bahwa keberadaan Film Commission sangat penting untuk mendukung perkembangan industri film. Ia mencontohkan kota-kota maju seperti Busan, Tokyo, dan Hong Kong yang telah memiliki Film Commission dan berhasil mengembangkan industri filmnya secara signifikan.
Jakarta Film Commission nantinya akan bertugas untuk mengatur seluruh infrastruktur perfilman di Jakarta, mulai dari perizinan lokasi syuting, penyediaan fasilitas produksi, hingga promosi film-film lokal. Selain itu, lembaga ini juga akan berperan dalam menarik investasi dari dalam dan luar negeri untuk mengembangkan industri film di Jakarta.
Rano mencontohkan Hong Kong Film Commission yang bahkan mampu membiayai 40 produser film muda hingga USD 2 juta untuk satu filmnya. Ia berharap Jakarta Film Commission nantinya juga dapat memberikan dukungan finansial kepada para sineas muda Indonesia untuk menghasilkan karya-karya berkualitas.
Rano Karno menyadari bahwa selama ini akses permodalan menjadi salah satu kendala utama bagi para pelaku industri film di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa selama pengalamannya berkecimpung di dunia perfilman, tidak satu pun bank yang bersedia memberikan kredit untuk pembuatan film. Oleh karena itu, ia berharap Jakarta Film Commission dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah permodalan ini.
Rano Karno menegaskan bahwa Jakarta Film Commission akan menjadi lembaga tersendiri yang dikelola secara profesional, bukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hal ini dilakukan agar lembaga tersebut dapat lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan industri film. Ia berharap Jakarta Film Commission dapat menjadi motor penggerak bagi kemajuan perfilman di Jakarta dan Indonesia secara keseluruhan.
Mimpi Jakarta untuk menjadi kota cinema bukan hanya sekadar ambisi, melainkan sebuah visi yang didasari oleh potensi besar yang dimiliki oleh kota ini. Dengan dukungan regulasi yang memadai, infrastruktur yang memadai, dan sumber daya manusia yang berkualitas, Jakarta memiliki peluang besar untuk mewujudkan mimpi tersebut. Namun, tantangan yang dihadapi juga tidak sedikit.
Salah satu tantangan utama adalah bagaimana meningkatkan kualitas produksi film lokal agar dapat bersaing dengan film-film dari luar negeri. Selain itu, Jakarta juga perlu mengembangkan ekosistem perfilman yang kondusif, yang melibatkan seluruh stakeholder, mulai dari produser, sutradara, aktor, hingga penonton.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu terus berupaya untuk menciptakan iklim investasi yang menarik bagi para investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Selain itu, Jakarta juga perlu mengembangkan infrastruktur pendukung perfilman, seperti studio film, laboratorium film, dan pusat pelatihan perfilman.
Dengan kerja keras dan komitmen yang tinggi dari seluruh pihak, bukan tidak mungkin Jakarta akan menjadi kota cinema yang disegani di dunia. Mimpi ini bukan hanya akan memberikan manfaat ekonomi bagi Jakarta, tetapi juga akan mengangkat citra Indonesia di mata internasional. Jakarta sebagai kota cinema akan menjadi simbol kreativitas, inovasi, dan kemajuan bangsa Indonesia.
